Belakangan ini, pada sosial media humwild.org dikejuti oleh sebuah video lima siswi di Jakarta yang membuat gurauan tidak patut mengenai Palestina. Di video itu, mereka menggenggam tulang ayam goreng dan menyangkutkannya dengan keadaan ironis yang dirasakan oleh beberapa anak di Palestina. Perlakuan ini memetik hujatan keras dari beragam faksi. Apa yang sebetulnya terjadi dengan angkatan kita? Kenapa empati dan sensitivitas seakan-akan lenyap?
Peristiwa ini ialah deskripsi terang dari minimnya pengetahuan dan penghargaan pada kesengsaraan seseorang. Di era teknologi, di mana informasi bisa menyebar luas dalam perhitungan detik, perlakuan yang tidak bertanggungjawab ini berpengaruh lebih besar. Perlakuan beberapa siswi itu bukan hanya menggambarkan ketidakpedulian tapi juga memperlihatkan begitu keutamaan pendidikan watak dan empati.
Argumennya, mungkin minimnya perhatian atau kasih-sayang dari orangtua bisa membuat anak cari perhatian dengan negatif seperti bullying. Kemauan untuk diterima atau dianggap dalam barisan rekan seumuran bisa menggerakkan seorang untuk lakukan bullying. Budaya atau lingkungan yang memandang bullying sebagai hal yang umum atau diterima bisa memacu sikap ini. Aktor bullying kerap kali kurang sanggup rasakan atau pahami hati seseorang, hingga mereka kurang peduli pada imbas negatif dari perlakuan mereka.
Ke-5 siswi itu langsung mendapatkan hujatan dari khalayak luas. Sosial media sarat dengan iklan judi bola dan komentar krisis yang mencela perlakuan mereka, menuntut keinginan maaf, dan mengatakan pendidikan selanjutnya mengenai desas-desus global dan empati. Tanggapan keras ini memperlihatkan jika warga tidak mentolerir perlakuan tidak peka yang menyepelekan kesengsaraan seseorang.
Perlakuan bullying dan penghinaan, sama seperti yang terjadi di video itu, mempunyai akar lebih dalam. Ini dapat asal dari minimnya pendidikan kepribadian dan norma di dalam rumah dan sekolah.